Rabu, 02 Oktober 2013

Wanita dan Keberadaannya Dalam Dunia Internasional



Pernahkah terbesit sedikit dalam benak kita, apakah sebenarnya cara menarik kunjungan wisatawan dengan “menggunakan” wanita sebagai ikonnya dianggap sebagai suatu hal merugikan bagi mereka, dan bagi saya sebagai seorang wanita?. Dalam review singkat sebuah bab dalam buku yang berjudul worlding woman, yang ditulis oleh Jan jindy Pettman. Saya akan menulis sedikit mengenai bagaimana perempuan-perempuan di Asia dapat dikemas dan dijual secara internasional untuk menarik wisatawan asing mancanegara, untuk datang berkunjung ke Negara mereka.
Dalam reaksi tantangan feminis di negara-negara barat, kasus yang mengaitkan eksploitasi bagi perempuan di Asia bisa digunakan sebagai salah satu pemicu motivasi penting feminitas, terutama dalam hal esensi dari pelayanan seks. Representasi yang menyudutkan wanita Asia di mata dunia internasional merupakan salah satu bentuk pelanggaran gender. Iklan maskapai penerbangan seperti 'gadis' Singapura, atau Thailand sebagai Tanah perempuan muda mengasosiasikan wanita Asia dengan petualangan laki-laki mengenai ketersediaan perempuan. Jenis gambar yang digunakan tentu saja tidak hanya untuk menarik minat wisatawan, tapi juga salah satu cara untuk menjual pariwisata di belahan dunia ketiga.
Pariwisata internasional sekarang menjadi bisnis yang sangat besar. Dengan mencapai angka sekitar 500 juta wisatawan lintas batas-batas negara setiap tahunnya, bukan hanya itu, pendapatan pemerintah suatu negara yang dihasilkan lewat sektor pariwisata membuat proporsi yang signifikan dari beberapa negara lain yang mengandalkan sektor lain sebagai pendapatan. Mengapa hal ini bisa terjadi?.
Isu ekonomi politik internasional adalah jawaban yang dirasa hampir tepat sebagai jawabannya. Seperti kutipan berikut ini :

[S]ex tourism is like any other multinational industry, extracting enormous profits from grotesquely underpaid local labour and placing the immediate experience of the individual worker—what happens to the body of a 15-year-old from a village in Northeast Thailand—in the context of global economic policy. From the perspective of First World customers, the international inequalities translate into a great bargain, while their personal experiences of cut-rate ecstasy combine to make up those totals in the billions”
 (Robinson, 1993:496; see also Truong, 1990).”

Isu mengenai ekonomi politik internasional ini berimplikasi pada kondisi perempuan dan relasi gender yang terjadi ketika perempuan terlibat dalam industri turisme seks (sex tourism industry) yang mengglobal. Industri yang seringkali dianggap sebagai hidden aspect globalisasi ini dalam konteks tertentu telah merugikan perempuan secara sosial ekonomi. Kebanyakan perempuan yang terlibat dalam industri ini adalah korban dari kejahatan transnasional seperti human trafficking atau penjualan manusia. Mereka merupakan korban dari iming-iming kesempatan kerja yang lebih baik di luar negeri dan mereka diselundupkan dan dijual dalam perjalanan menuju negara yang dijanjikan. Namun yang perlu diperhatikan bahwa tidak semua perempuan yang terlibat dalam industri ini adalah ”korban”. Tidak sedikit perempuan yang secara sadar dan sukarela bekerja dan mengadu nasib dalam industri seks ini karena keuntungan ekonomi yang menggiurkan.
Perbedaan motivasi inilah yang melatarbelakangi perbedaan cara pandang para ilmuan feminis ketika melihat isu ini. Feminis radikal berargumen bahwa prostitusi baik secara paksa (melalui trafficking) dan sukarela adalah bentuk ekploitasi seksual terhadap perempuan. Oleh karena itu perempuan adalah korban ekploitasi yang harus diselamatkan dalam industri seks ini. Berlawanan dengan pendapat ini, feminis dari pekerja seks bersikukuh bahwa prostitusi harus dilihat sebagai salah satu bentuk mata pencahariaan dan perlu diberikan penghargaan yang sama dengan jenis pekerjaan lain. Feminis aliran ini lebih menuntut pada terpenuhinya hak dan kewajiban para pekerja seks layaknya pekerja di sektor lainnya. Namun dalam perkembangannya saat ini, persoalan (sex) trafficking lebih menjadi isu utama dalam praktek ekonomi politik internasional yang berimplikasi negatif terhadap kondisi perempuan.
Studi tentang sex trafficking yang mencuat pada tahun 2000an memberi perhatian pada fakta akan peran aktivitas peacekeeping dalam menyuburkan industri ini. Terkait dengan isu ini, Marting Vanderberg selaku Director of the Women’s Project for Human Rights Watch menuturkan bahwa “[Sex trafficking is the] dirty secret of UN intervention around the world – the nasty underbelly that no one wants to confront.” Senada dengan pendapat ini, kantor berita the Associated Press (AP) di Eropa Timur juga melaporkan bahwa para pejabat Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) secara rahasia telah memalsukan dokumen untuk menyelundupkan perempuan, membantu transportasi illegal bagi mereka melalui berbagai checkpoints perbatasan untuk masuk ke Bosnia, dan menyuap para pemilik klub-klub seks. Berbagai fakta tersebut menunjukkan bahwa sex trafficking sebagai suatu industri besar ternyata telah mencederai misi “suci” para penjaga perdamaian PBB dan melanggar mandat Dewan Keamanan (DK) PBB untuk mewujudkan perdamaian di daerah konflik.
Terkait dengan hal ini, Agathangelou dan Ling menilai para penjaga perdamaian PBB tersebut telah mengeksploitasi berbagai sumber daya yang mereka miliki sebagai seorang penjaga perdamaian dengan cara memanfaatkan goodwill dari masyarakat demi memuaskan syahwat mereka dan memperoleh keuntungan ekonomi. Dalam konteks ini dan situasi secara umum, isu sex trafficking dengan modus ini semakin memperluas penyebaran sexually-transmitted diseases (STDs) atau penyakit seksual menular yang mengancam keamanan global (global security). Persoalan industri seks yang dikaitkan dengan keamanan global tidak hanya berimplikasi secara sosial ekonomi bagi perempuan tapi juga pada munculnya isu kesehatan global (global health).
Meningkatnya peredaran virus HIV/AIDS serta potensi penyakit lainnya di banyak negara melalui industri seks telah mengancam kesehatan perempuan sebagai pelaku maupun obyek dari aktivitas tersebut. Padahal mewujudkan kesehatan global di kalangan perempuan merupakan salah satu upaya untuk mencapai kesetaraan gender. Hal ini dikarenakan, menurut Gupta, ketidaksetaraan gender berkontribusi terhadap meningkatnya kerentanan perempuan akan suatu penyakit sehingga menyebabkan terjadinya epidemik penyakit. Lebih lanjut Gupta menjelaskan konsep ketidaksetaraan gender ini ke dalam dua aspek yaitu ketidaksetaraan dalam hal akses pada sumber daya dan asset ekonomi serta norma-norma gender dalam seksualitas.
Keterbatasan akses perempuan terhadap sumber daya ekonomi, khususnya di lingkungan kerja, diantaranya disebabkan oleh kebijakan restrukturisasi global yang telah memiskinkan perempuan. Persoalannya restrukturisasi yang mempekerjakan perempuan secara kuantitas tidak disertai peningkatan kualitas lingkungan kerja yang mestinya memperhatikan standar kesehatan. Dalam kasus industri elektronika di Thailand misalnya, sebuah studi menemukan bahwa gambaran lingkungan kerja sangat jauh dari bersih dan tidak bebas polusi. Para pekerja perempuan dihadapkan pada berbagai bahan-bahan beracun yang memiliki efek kompleks dan kronis bagi kesehatan mereka, termasuk yang berbahaya bagi kesehatan reproduksi mereka. Selain itu rendahnya kemampuan ekonomi perempuan juga mempengaruhi kemampuan perempuan untuk mengakses informasi dan pelayanan kesehatan.
Selain itu, ketidaksetaraan dalam relasi gender juga terlihat dalam hal norma-norma seksualitas, khususnya dalam hubungan suami dan istri.
Dalam banyak kasus, Gupta mengamati bahwa lemahnya posisi tawar perempuan akibat norma-norma sosial yang menggariskan bahwa “perempuan baik” adalah perempuan yang menerima dan pasif dalam interaksi seksual akan mempengaruhi kemampuan perempuan untuk menegosiasikan interaksi seksual yang aman baginya. Kondisi ini semakin didukung oleh karakter maskulinitas laki-laki yang merasa bahwa mereka memiliki pengetahuan tentang seks, sehingga mencegah mereka untuk mencari informasi tentang bentuk perilaku seks yang aman. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa ancaman terhadap keamanan global, khususnya dalam isu kesehatan perempuan berasal dari faktor internal (keluarga) dan eksternal (masyarakat), sehingga memerlukan dukungan dari berbagai pihak.
Isu keamanan global yang juga memiliki implikasi gender adalah terkait dengan globalisasi aktivitas militer. Meningkatnya militerisme global pasca tragedi 9/11 yang ditandai dengan invasi Amerika Serikat dan sekutunya ke Afganistan dan Iraq telah menciptakan konstruksi identitas negara yang dikaitkan dengan karakter maskulin dan feminin. Laura J. Shepherd, dalam studinya tentang konstruksi identitas gender dalam diskursus bahasa yang digunakan George W. Bush sebelum melancarkan invasinya ke Afganistan, menemukan bahwa Bush telah mengkonstruksi identitas maskulinitas Amerika Serikat (AS) sebagai ”the Ordinary Decent Citizen” dan ”the Figure of Authority”. Identitas maskulin yang pertama mengacu pada identitas manusia biasa ketika menggambarkan identitas AS yaitu karakteristik dan perilaku laki-laki yang memiliki nasionalisme tinggi dan solider terhadap rekan-rekannya. Sementara itu konsep yang kedua mengacu pada konstruksi identitas maskulin yang merasa memiliki otoritas sebagai pihak yang bertanggungjawab untuk mempertahankan nilai-nilai barat, seperti sikap dalam melindungi perempuan.
Militerisme global yang memiliki implikasi gender tidak hanya terlihat dalam konstruksi identitas negara tapi juga pada terciptanya ”gendered empire” bentuk baru dalam masyarakat pascakonflik. Masih dalam kasus invasi di Afghanistan misalnya, Enloe mengamati bahwa American empire dengan maskulinitasnya telah muncul di berbagai tempat di Afghanistan, termasuk di tempat praktek prostitusi. Indikasi menguatnya maskulinitas juga terlihat dalam isu ketidaksetaraan gender dalam pembangunan pascakonflik. Kebijakan pembangunan pascakonflik seringkali mengabaikan aspirasi perempuan, padahal kaum perempuan juga memiliki kontribusi dalam upaya penghentian konflik. Di dalam formasi the Iraqi Governing Council, misalnya, terpilihnya tiga orang perempuan dari 25 orang anggotanya menunjukkan masih rendahnya representasi perempuan dalam perumusan kebijakan bagi pemerintahan Iraq yang baru. Akibatnya, kebutuhan dan pengalaman perempuan sebagai bagian dari masyarakat Iraq belum terakomodasi dengan baik.
Situasi konflik bersenjata dan perang juga memiliki implikasi gender dalam hal keterlibatan perempuan sebagai pejuang untuk membela tanah airnya. Perempuan di negara-negara Amerika Latin, Asia Tenggara, Afrika dan Timur Tengah telah menorehkan sejarah panjang akan keterlibatan mereka dalam berperang bersama kaum laki-laki. Tidak hanya berperan dalam menjalankan ”feminised tasks” seperti pelayanan dapur umum dan medis, para perempuan juga tidak jarang terjun dalam pertempuran langsung (direct combat) bahkan sebagai martir dalam berbagai aksi bunuh diri, seperti terlihat di Palestina. Kondisi ini menunjukkan bahwa asumsi feminisasi dalam aktivitas peace-building tidak sepenuhnya relevan, karena dalam konteks tertentu perempuan turut berkontribusi sebagai aktor atau combatants dalam situasi konflik.

Sumber bacaan: 
International services/ sex tourism dalam buku Worlding Women by Jen Jindy Pettman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar