Pernahkah terbesit sedikit dalam benak kita, apakah sebenarnya cara
menarik kunjungan wisatawan dengan “menggunakan” wanita sebagai ikonnya dianggap
sebagai suatu hal merugikan bagi mereka, dan bagi saya sebagai seorang wanita?.
Dalam review singkat sebuah bab dalam buku yang berjudul worlding woman, yang ditulis oleh Jan jindy Pettman. Saya akan
menulis sedikit mengenai bagaimana perempuan-perempuan di Asia dapat dikemas
dan dijual secara internasional untuk menarik wisatawan asing mancanegara,
untuk datang berkunjung ke Negara mereka.
Dalam reaksi
tantangan feminis di negara-negara barat, kasus
yang mengaitkan eksploitasi bagi perempuan di Asia bisa digunakan sebagai salah
satu pemicu motivasi penting feminitas, terutama dalam hal esensi dari
pelayanan seks. Representasi yang menyudutkan wanita Asia di mata dunia
internasional merupakan salah satu bentuk pelanggaran gender. Iklan maskapai
penerbangan seperti 'gadis' Singapura, atau Thailand sebagai Tanah perempuan
muda mengasosiasikan wanita Asia dengan petualangan laki-laki mengenai
ketersediaan perempuan. Jenis gambar yang digunakan tentu saja tidak hanya
untuk menarik minat wisatawan, tapi juga salah satu cara untuk menjual pariwisata
di belahan dunia ketiga.
Pariwisata internasional sekarang menjadi bisnis yang sangat besar. Dengan
mencapai angka sekitar 500 juta wisatawan lintas batas-batas negara setiap
tahunnya, bukan hanya itu, pendapatan pemerintah suatu negara yang dihasilkan
lewat sektor pariwisata membuat proporsi yang signifikan dari beberapa negara lain
yang mengandalkan sektor lain sebagai pendapatan. Mengapa hal ini bisa
terjadi?.
Isu ekonomi politik internasional
adalah jawaban yang dirasa hampir tepat sebagai jawabannya. Seperti kutipan
berikut ini :
“ [S]ex tourism is like
any other multinational industry, extracting enormous profits from grotesquely
underpaid local labour and placing the immediate experience of the individual
worker—what happens to the body of a 15-year-old from a village in Northeast
Thailand—in the context of global economic policy. From the perspective of
First World customers, the international inequalities translate into a great
bargain, while their personal experiences of cut-rate ecstasy combine to make
up those totals in the billions”
(Robinson, 1993:496; see also Truong, 1990).”
Isu mengenai ekonomi politik
internasional ini berimplikasi pada kondisi perempuan dan relasi gender yang
terjadi ketika perempuan terlibat dalam industri turisme seks (sex
tourism industry) yang mengglobal. Industri yang seringkali dianggap
sebagai hidden aspect globalisasi ini dalam konteks tertentu telah
merugikan perempuan secara sosial ekonomi. Kebanyakan perempuan yang terlibat
dalam industri ini adalah korban dari kejahatan transnasional seperti human
trafficking atau penjualan manusia. Mereka merupakan korban dari
iming-iming kesempatan kerja yang lebih baik di luar negeri dan mereka
diselundupkan dan dijual dalam perjalanan menuju negara yang dijanjikan. Namun
yang perlu diperhatikan bahwa tidak semua perempuan yang terlibat dalam
industri ini adalah ”korban”. Tidak sedikit perempuan yang secara sadar dan
sukarela bekerja dan mengadu nasib dalam industri seks ini karena keuntungan
ekonomi yang menggiurkan.
Perbedaan motivasi inilah yang
melatarbelakangi perbedaan cara pandang para ilmuan feminis ketika melihat isu
ini. Feminis radikal berargumen bahwa prostitusi baik secara paksa (melalui
trafficking) dan sukarela adalah bentuk ekploitasi seksual terhadap
perempuan. Oleh karena itu perempuan adalah korban ekploitasi yang harus
diselamatkan dalam industri seks ini. Berlawanan dengan pendapat ini, feminis
dari pekerja seks bersikukuh bahwa prostitusi harus dilihat sebagai salah satu
bentuk mata pencahariaan dan perlu diberikan penghargaan yang sama dengan jenis
pekerjaan lain. Feminis aliran ini lebih menuntut pada terpenuhinya hak dan
kewajiban para pekerja seks layaknya pekerja di sektor lainnya. Namun dalam
perkembangannya saat ini, persoalan (sex) trafficking lebih menjadi isu
utama dalam praktek ekonomi politik internasional yang berimplikasi negatif
terhadap kondisi perempuan.
Studi tentang sex trafficking
yang mencuat pada tahun 2000an memberi perhatian pada fakta akan peran
aktivitas peacekeeping dalam menyuburkan industri ini. Terkait dengan
isu ini, Marting Vanderberg selaku Director
of the Women’s Project for Human Rights Watch menuturkan bahwa “[Sex trafficking is the] dirty secret of UN
intervention around the world – the nasty underbelly that no one wants to
confront.” Senada dengan pendapat ini, kantor berita the Associated Press
(AP) di Eropa Timur juga melaporkan bahwa para pejabat Perserikatan Bangsa
Bangsa (PBB) secara rahasia telah memalsukan dokumen untuk menyelundupkan
perempuan, membantu transportasi illegal bagi mereka melalui berbagai checkpoints
perbatasan untuk masuk ke Bosnia, dan menyuap para pemilik klub-klub seks.
Berbagai fakta tersebut menunjukkan bahwa sex trafficking sebagai suatu
industri besar ternyata telah mencederai misi “suci” para penjaga perdamaian
PBB dan melanggar mandat Dewan Keamanan (DK) PBB untuk mewujudkan perdamaian di
daerah konflik.
Terkait dengan hal ini, Agathangelou
dan Ling menilai para penjaga perdamaian PBB tersebut telah mengeksploitasi
berbagai sumber daya yang mereka miliki sebagai seorang penjaga perdamaian
dengan cara memanfaatkan goodwill dari masyarakat demi memuaskan syahwat
mereka dan memperoleh keuntungan ekonomi. Dalam konteks ini dan situasi secara
umum, isu sex trafficking dengan modus ini semakin memperluas penyebaran sexually-transmitted
diseases (STDs) atau penyakit seksual menular yang mengancam keamanan
global (global security). Persoalan industri seks yang dikaitkan dengan
keamanan global tidak hanya berimplikasi secara sosial ekonomi bagi perempuan
tapi juga pada munculnya isu kesehatan global (global health).
Meningkatnya peredaran virus
HIV/AIDS serta potensi penyakit lainnya di banyak negara melalui industri seks
telah mengancam kesehatan perempuan sebagai pelaku maupun obyek dari aktivitas
tersebut. Padahal mewujudkan kesehatan global di kalangan perempuan merupakan
salah satu upaya untuk mencapai kesetaraan gender. Hal ini dikarenakan, menurut
Gupta, ketidaksetaraan gender berkontribusi terhadap meningkatnya kerentanan
perempuan akan suatu penyakit sehingga menyebabkan terjadinya epidemik
penyakit. Lebih lanjut Gupta menjelaskan konsep ketidaksetaraan gender ini ke
dalam dua aspek yaitu ketidaksetaraan dalam hal akses pada sumber daya dan
asset ekonomi serta norma-norma gender dalam seksualitas.
Keterbatasan akses perempuan
terhadap sumber daya ekonomi, khususnya di lingkungan kerja, diantaranya
disebabkan oleh kebijakan restrukturisasi global yang telah memiskinkan
perempuan. Persoalannya restrukturisasi yang mempekerjakan perempuan secara
kuantitas tidak disertai peningkatan kualitas lingkungan kerja yang mestinya
memperhatikan standar kesehatan. Dalam kasus industri elektronika di Thailand
misalnya, sebuah studi menemukan bahwa gambaran lingkungan kerja sangat jauh
dari bersih dan tidak bebas polusi. Para pekerja perempuan dihadapkan pada
berbagai bahan-bahan beracun yang memiliki efek kompleks dan kronis bagi
kesehatan mereka, termasuk yang berbahaya bagi kesehatan reproduksi mereka.
Selain itu rendahnya kemampuan ekonomi perempuan juga mempengaruhi kemampuan
perempuan untuk mengakses informasi dan pelayanan kesehatan.
Selain itu, ketidaksetaraan dalam relasi gender juga terlihat
dalam hal norma-norma seksualitas, khususnya dalam hubungan suami dan istri.
Dalam banyak kasus, Gupta mengamati
bahwa lemahnya posisi tawar perempuan akibat norma-norma sosial yang
menggariskan bahwa “perempuan baik” adalah perempuan yang menerima dan pasif
dalam interaksi seksual akan mempengaruhi kemampuan perempuan untuk
menegosiasikan interaksi seksual yang aman baginya. Kondisi ini semakin
didukung oleh karakter maskulinitas laki-laki yang merasa bahwa mereka memiliki
pengetahuan tentang seks, sehingga mencegah mereka untuk mencari informasi
tentang bentuk perilaku seks yang aman. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa
ancaman terhadap keamanan global, khususnya dalam isu kesehatan perempuan
berasal dari faktor internal (keluarga) dan eksternal (masyarakat), sehingga
memerlukan dukungan dari berbagai pihak.
Isu keamanan global yang juga
memiliki implikasi gender adalah terkait dengan globalisasi aktivitas militer.
Meningkatnya militerisme global pasca tragedi 9/11 yang ditandai dengan invasi
Amerika Serikat dan sekutunya ke Afganistan dan Iraq telah menciptakan
konstruksi identitas negara yang dikaitkan dengan karakter maskulin dan
feminin. Laura J. Shepherd, dalam studinya tentang konstruksi identitas gender
dalam diskursus bahasa yang digunakan George W. Bush sebelum melancarkan
invasinya ke Afganistan, menemukan bahwa Bush telah mengkonstruksi identitas
maskulinitas Amerika Serikat (AS) sebagai ”the Ordinary Decent Citizen” dan
”the Figure of Authority”. Identitas maskulin yang pertama mengacu pada identitas
manusia biasa ketika menggambarkan identitas AS yaitu karakteristik dan
perilaku laki-laki yang memiliki nasionalisme tinggi dan solider terhadap
rekan-rekannya. Sementara itu konsep yang kedua mengacu pada konstruksi
identitas maskulin yang merasa memiliki otoritas sebagai pihak yang
bertanggungjawab untuk mempertahankan nilai-nilai barat, seperti sikap dalam
melindungi perempuan.
Militerisme global yang memiliki
implikasi gender tidak hanya terlihat dalam konstruksi identitas negara tapi
juga pada terciptanya ”gendered empire” bentuk baru dalam masyarakat
pascakonflik. Masih dalam kasus invasi di Afghanistan misalnya, Enloe mengamati
bahwa American empire dengan maskulinitasnya telah muncul di berbagai
tempat di Afghanistan, termasuk di tempat praktek prostitusi. Indikasi
menguatnya maskulinitas juga terlihat dalam isu ketidaksetaraan gender dalam
pembangunan pascakonflik. Kebijakan pembangunan pascakonflik seringkali
mengabaikan aspirasi perempuan, padahal kaum perempuan juga memiliki kontribusi
dalam upaya penghentian konflik. Di dalam formasi the Iraqi Governing Council,
misalnya, terpilihnya tiga orang perempuan dari 25 orang anggotanya menunjukkan
masih rendahnya representasi perempuan dalam perumusan kebijakan bagi
pemerintahan Iraq yang baru. Akibatnya, kebutuhan dan pengalaman perempuan
sebagai bagian dari masyarakat Iraq belum terakomodasi dengan baik.
Situasi konflik bersenjata dan
perang juga memiliki implikasi gender dalam hal keterlibatan perempuan sebagai
pejuang untuk membela tanah airnya. Perempuan di negara-negara Amerika Latin,
Asia Tenggara, Afrika dan Timur Tengah telah menorehkan sejarah panjang akan
keterlibatan mereka dalam berperang bersama kaum laki-laki. Tidak hanya
berperan dalam menjalankan ”feminised tasks” seperti pelayanan dapur umum dan
medis, para perempuan juga tidak jarang terjun dalam pertempuran langsung (direct
combat) bahkan sebagai martir dalam berbagai aksi bunuh diri, seperti
terlihat di Palestina. Kondisi ini menunjukkan bahwa asumsi feminisasi dalam
aktivitas peace-building tidak sepenuhnya relevan, karena dalam konteks
tertentu perempuan turut berkontribusi sebagai aktor atau combatants
dalam situasi konflik.
Sumber bacaan:
International services/ sex tourism dalam buku Worlding Women by Jen Jindy Pettman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar