www.leveragingideas.com |
Reputasi menurut Jonathan Mercer, adalah penilaian terhadap karakter suatu pihak (disposition) yang kemudian digunakan untuk memprediksi atau menjelaskan perilaku masa depan. Apabila hal tersebut dikaitkan dengan dalam studi hubungan internasional, maka penilaian terhadap karakter sebuah bangsa dan negara-lah yang akan digunakan sebagai instrument untuk menjelaskan bagaimana sebuah negara mampu mempertahankan eksistensinya dalam dunia internasional.
Jonathan Mercer/jsis.washington.edu |
Jika dalam cakupan internasional sebuah reputasi memiliki tiga komponen utama, yakni :
- Brain, adalah sebuah istilah yang diartikan sebagai kecerdasan yang dimiliki oleh seseorang dengan tingkat intelegensi yang baik atau bahkan sudah mendekati taraf tinggi.
- Behaviour, istilah ini juga digunakan sebagai perwakilan atas penilaian baik dan buruknya sebuah perilaku individu, negara, atau kelompok tertentu terhadap lingkungan serta keseharian mereka.
- Dan Beauty, adalah istilah yang mewakili pengakuan atas sesuatu yang dinilai memiliki keindahan, kerapihan, juga kecantikan.
www.virtualsocialmedia.com |
Maka, ketiga komponen ini tidak lagi hanya mengacu kepada penilaian terhadap seorang individu, akan tetapi juga terhadap sebuah negara. Bagaimana sebuah negara mampu memposisikan dirinya di mata internasional sebagai sesuatu yang “bernilai”, dan sesuatu yang “berbeda”, sehingga memiliki daya tarik tersendiri dari negara lain. hal inilah yang saya sebut sebagai Branding Reputation.
Jenis reputasi yang belum terdefinisi ini tidak hanya mencakup reputasi seperti yang sudah di jelaskan oleh Post dan Bromley (reputasi properti, repurtasi penghormatan, dan reputasi kehormatan), tapi juga sudah memasukan esensi-esensi yang ada dari jenis reputasi yang dipaparkan oleh Eissennegger (reputasi ekspresi, reputasi fungsional, dan reputasi sosial). Reputasi yang saya sebut sebagai Branding Reputation ini dapat dikatakan sebagai gabungan dari keduanya.
Karena walaupun pada hakikatnya reputasi ini telah memiliki apa yang dibutuhkannya (sumber daya alam yang melimpah, dan pemandangan alam yang indah di suatu negara merupakan sebuah anugerah dari Tuhan Yang maha Esa, yang mampu membuat negara tersebut memiliki posisi tawar tinggi dalam hubungannya di dunia internasional.), namun tetap terdapat usaha yang gigih dalam proses pencapaian dan proses dalam upaya mempertahankannya. Berangkat dari hal tersebutlah, mengapa saya berfikir bahwa sebuah konsep “branding” mampu menaikkan reputasi sebuah negara ketingkat yang lebih tinggi, baik lewat “branding keindahan pariwisata-nya”, “branding kecanggihan teknologi-nya”, hingga “branding kemajuan pendidikan-nya”.
Berikut, adalah kutipan artikel yang sekiranya dapat menguatkan pendapat saya.
“.. World Trade Organization (WTO) memprediksi pertumbuhan rata-rata pariwisata dunia, selama tahun 2000-2010, mencapai 4,2%, dan kawasan Asia diprediksa akan mengalami tingkat pertumbuhan yang paling tinggi (Christianto, 2001), diprediksi sekitar 7% (WTO, 2005). Oleh karena itu, tidak mengherankan apablia pariwisata menjadi alat untuk meningkatkan perolehan devisa, membuka kesempatan usaha, dan membuka lapangan kerja. Contoh, Thailand dapat bangkit dari krisis ekonomi secara cepat melalui strategi lokomotif pembangunan pariwisata (Sutowo, 2001). Bahkan, beberapa negara industri juga mereposisi ekonominya, daribrand-based economy menjadi experience economy. Ekonomi berbasis kesan merupakan kegiatan ekonomi produktif yang menimbulkan efek keterlibatan. Kegiatan seperti: diving, skiing, dogsledding, hot-air ballooning, whale kissing, snorkeling, dll adalah contohnya. Semua kegiatan tersebut merupakan kemasan pariwisata modern yang mampu meningkatkan lapangan kerja sebesar 5,3% dalam perekonomian Amerika antara tahun 1959-1996. Jauh lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan lapangan kerja di sektor jasa (2,7%) dan manufaktur (0,5%) (Kasali, 2004).
World Travel & Tourism Council (WTTC) juga memberikan gambaran bahwa pariwisata akan menjadi sebuah mega industri dan menjadi penggerak utama perekonomian di abad ke-21. Prediksi WTTC mengatakan bahwa pariwisata akan mampu menggerakkan mobilitas wisatawan internasional hingga 850 juta wisatawan di seluruh dunia pada tahun 2005 (Christianto, 2001).
Masalahnya, pariwisata merupakan industri yang sangat sensitif terhadap isu-isu eksternal. Adanya perang Irak, bom Bali, atau sindrom pernafasan akut parah (SARS) dengan mudah menurunkan minat wisatawan untuk berkunjung ke Indonesia. Citra bahwa Indonesia adalah destinasi yang tidak aman membuat wisatawan enggan berkunjung (Kompas, 3/01/2003). Hal ini juga terjadi di negara tetangga, Singapura. Begitu SARS melanda Singapura, jumlah kunjungan turis langsung merosot 19%. Tahun 2002 total wisatawan ke Singapura mencapai 7,6 juta turis, tahun 2003 hanya 6,1 juta turis. Akibatnya, uang belanja turis juga berkurang secara signifikan, dari S$5,4 miliar menjadi S$4,31 miliar (Manopol & Iskandar, 2006).
Menyadari arti penting industri pariwisata (secara ekonomi), maka setiap negara berusaha memberikan layanan terbaik pada wisatawan (Kasali, 2004). Dampaknya, pasar untuk industri ini semakin kompetitif. Untuk mendapatkan posisi sebagai pemimpin pasar, strategi melalui saluran komunikasi dapat diberdayakan (Andreassen & Lindestad, 1998). Tujuan dari kegiatan tersebut adalah untuk membangun citra yang kuat dalam rangka menghasilkan daya tarik yang kuat dari sebuah destinasi. Sebab, ketika wisatawan menilai dan mengevaluasi destinasi, persepsi terhadap destinasi merupakan komponen kunci untuk melakukan kunjungan/tidak. Artinya, proses pembentukan citra merupakan tahapan yang sangat kritis bagi wisatawan (Gartner, 1996). Konsekuensinya, citra destinasi akan memainkan peran penting, baik dalam menarik ataupun menahan wisatawan (Andreassen & Lindestad, 1998)...”
Dikutip dari: Sri Raharjo,“Citra Destinasi dan Konsekuensi”, Staf Pengajar Jurusan Administrasi Niaga – Politeknik Negeri Bandung, pada tanggal 25 Oktober 2011, pukul 22.50 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar