needlessbloodshed.wordpress.com |
“Perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, dan
agama dengan cara membunuh anggota kelompok yang dapat mengakibatkan
penderitaan fisik atau mental yang berat, serta menciptakan suatu kondisi
kehidupan kelompok yang secara fisik dinilai musnah secara fisik atau secara
keseluruhan, mencegah kelahiran dalam kelompok tersebut, dan memindahkan secara
paksa anak-anak yang ada dalam kelompok tertentu kepada kelompok lain.”
Kejahatan ini merupakan salah satu dari
empat pelanggaran berat dalam konteks Hak Asasi Manusia. Kejahatan ini berada dalam yurisdiksi
International Criminal Court (ICC) bersama pelanggaran HAM berat lainnya,
seperti kejahatan perang, agresi, dan kemanusiaan. Ada pula istilah genosida budaya yang
diartikan sebagai pembunuhan peradaban suatu bangsa dengan melarang penggunaan
bahasa dari suatu kelompok atau suku, atau mengubah dan menghancurkan
simbol-simbol peradabannya.Kasus ini dimulai pada bulan April di tahun 1944, ketika terjadi pembunuhan presiden Rwanda yang bernama Juvenal Habyarimana oleh suku Hutu. Pembunuhan tersebut dilakukan diatas pesawat oleh suku Hutu yang mengatakan diri mereka berasal dari suku Tutsi. Hal ini sengaja dilakukan oleh militan suku Hutu untuk memancing amarah masyarakat sesuku mereka agar semakin membenci suku Tutsi yang juga tinggal berdampingan dengan mereka, mengingat bahwa Presiden Habyarimana berasal dari suku Hutu.
Kebencian suku Hutu terhadap suku Tutsi
diawali dengan adanya sistem diversifikasi, atau penggolongan masyarakat suku-suku asli di Rwanda
berdasarkan warna kulit dan bentuk fisik lainnya. Sistem kasta ini pertama kali
diterapkan oleh pemerintah Belgia saat Rwanda masih berada dalam wilayah koloni
mereka. Pada masa pemerintahan Belgia di Rwanda, suku Tutsi diletakkan pada
kasta teratas dikarenakan fisik mereka yang lebih baik jika dibandingkan dengan
suku Hutu. Suku Tutsi memiliki warna kulit yang sedikit lebih terang, perawakan
yang lebih tinggi, dan bentuk hidung yang sedikit mancung, sedangkan suku Hutu,
memiliki perbedaan yang sangat kontras dengan mereka. Pemerintah Belgia juga
membedakan jenis-jenis pekerjaan apa saja yang dinilai pantas untuk
masing-masing kasta tersebut. Seperti jenis-jenis pekerjaan yang membutuhkan
tenaga kasar (blue collar) akan diberikan pada orang-orang yang berasal dari
suku Hutu, dan jenis pekerjaan dalam bidang pemerintahan atau lebih terhormat
(white collar) akan diberikan kepada orang-orang yang berasal dari suku Tutsi.
Hal inilah yang memicu timbulnya perasaan
dendam dan iri pada suku Hutu yang merasa didiskriminasi oleh sistem kasta
tersebut. Rasa kecewa dan perasaan disingkirkan secara terus menerus membuat
mereka terasing dalam lingkungannya sendiri. Dan pada akhirnya menimbulkan
konflik perang saudara yang berujung pada kejahatan genosida di Rwanda yang
dilakukan oleh suku Hutu terhadap suku Tutsi. Para militan suku Hutu yang telah
berhasil memprovokotori masyarakat suku Hutu lainnya sesaat setelah kejadian
pembunuhan atas Presiden mereka segera memblokade jalan-jalan di kota, merazia
seluruh penduduk, memperkosa dan membunuh setiap penduduk yang memiliki
identitas sebagai suku Tutsi. Kejahatan genosida yang terjadi di Rwanda ini
menelan korban jiwa hingga mencapai angka kasar 1.000.000 orang dari kedua
belah pihak.
Pelanggaran
berat terhadap hak asasi manusia merupakan sebuah kejahatan yang masuk dalam
kategori kejahatan yang serius, atau dalam istilah hubungan internasional
sering disebut sebagai “Serious Crime”,
dan inilah yang membedakannya dari hukum pidana biasa. Berbeda dengan hukum
humaniter yang berperan dalam mengatur konflik ketika perang yang terjadi
antara dua negara atau lebih sedang terjadi. Landasan hukum mengenai pelanggaran
Hak Asasi Manusia tertuang dalam statuta Roma tentang pengadilan Pidana
Internasional, sedangkan landasan hukum dari hukum humaniter internasional
diatur dalam konvensi Genewa. Kedua landasan yang berbeda ini menjelaskan bahwa
kedua “kegiatan” ini jelas berbeda.
Dalam
kasus Genosida di Rwanda, menurut saya hal tersebut masuk dalam kategori
kejahatan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Hal tersebut dapat dilihat dari
konteks konflik yang terjadi, poin pertama adalah kejahatan ini berawal dari
adanya konflik antar suku dalam suatu negara, bukan antar negara. Yang kedua,
kategori konflik yang terjadi di Rwanda bukanlah kategori kejahatan perang yang
masuk dalam ranah militer, tapi perang saudara antar masyarakat sipil.
Kaitannya
dengan hukum humaniter internasional adalah sebagai pelindung bagi korban
perang dari sengketa bersenjata non-internasional yang terjadi di Rwanda, serta
pembatasan penggunaan senjata dalam konflik tersebut. Hal ini dapat dilihat
dari adanya campur tangan pihak Perancis dalam membantu pasokan senjata bagi
suku Hutu dalam pembantaian tersebut. Hak-hak asasi bagi korban perang di suatu
negara yang diatur dalam konvensi genewa juga merupakan hak-hak dasar milik
setiap individu (tertuang dalam pasal 3 konvensi genewa dalam perlindungan korban
perang). Dalam kasus ini, hukum humaniter berperan dalam menangani bagaimana
para korban perang tersebut harus diperlakukan, karena dalam hukum humaniter
juga diatur sedikit mengenai konflik sengketa bersenjata non-internasional. Sedangkan
dalam jenisnya, kasus ini masuk dalam kategori kejahatan pelanggaran hak asasi
manusia. Hal ini secara tidak langsung menyiratkan bahwa dalam peraturan sanksi
atau perlindungan mengenai kejahatan pelanggaran hak asasi manusia masih
memiliki kekurangan.
Referensi:
Sumber
Buku
Jurnal Ham Komisi Perlindungan Hak Asasi
Manusia. Vol.2 No.2. November 2004. Jakarta. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Sumber
Lain
http://www.wordpress.com/canyouthinkyoucanthink
/Pembantaian-Rwanda.htm/
http://www.preventgenocide.org/ab/1998/
http://www.wikipedia.org/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar