Kamis, 24 Oktober 2013

Apakah Kebijakan Satu Anak di China Bagian Contoh Kasus Dari Gendercide?

Mary Anne Warren, adalah orang yang pertama kali memperkenalkan istilah genderside lewat bukunya yang berjudul: "Gendercide : The implications of Sex Selection pada tahun 1978". dalam bukunya ini, beliau menjelaskan mengenai perbedaan mendasar antara istilah gendercide dan istilah genocide.
dari hasil bacaan saya, genderside merupakan istilah yang merujuk pada sebuah "kegiatan" atau usaha yang sengaja dilakukan oleh beberapa orang, kelompok, atau siapapun yang ingin memusnahkan suatu kaum berdasarkan "sex dan gender" yang dimilikinya. Bisa jadi, hanya ingin memusnahkan kaum laki-laki, atau perempuan saja dengan maksud dan tujuan tertentu.
Sedangkan genocide, adalah suatu istilah atau rujukan yang mengarah pada pemusnahan suatu ras, tanpa memikirkan jenis sex dan gendernya.

hot.detik.com


berikut adalah salah satu contoh kasusnya: ...

"... Dengan mata kepalanya sendiri, Xinran, seorang jurnalis radio yang berpangkalan di Beijing dan kini menetap di London, melihat proses kelahiran yang amat dramatis di sebuah pedesaan di pedalaman China (hal. 15-32). Dalam gelap tanpa penerangan lampu listrik, sang bidan hanya berbekal lampu minyak untuk membantu proses kelahiran. Ketika bayi keluar dari rahim ibunya, yang pertama dilakukan bukan membersihkan jalan pernapasan si bayi. Tapi memeriksa kelaminnya dengan sorotan lampu minyak.
Jika bayi itu perempuan, langsung dilempar ke dalam tong sampah!
Xinran baru mengerti mengapa para wanita China yang berasal dari pedalaman, yang lolos dari praktikgendercide itu, biasanya memiliki tanda lahir bekas luka di sekitar alat kelamin. Tak lain dan tak bukan akibat tetesan minyak lampu.
Bagaimana perasaan sang ibu melihat janin yang dikandungnya dengan susah payah selama 9 bulan, dielus dengan kasih sayang dan diajak bicara selagi masih di dalam kandungan, dilempar begitu saja ke dalam tong sampah? Xinran menulis dengan apik di dalam bukunya. Sepuluh wanita, sepuluh cerita berbeda, namun satu perasaan. Beberapa di antaranya bahkan mencoba bunuh diri akibat tidak tahan menanggung beban perasaan. Maka tak heran angka bunuh diri di China terhitung tinggi dan didominasi oleh perempuan.
Ada juga cerita sepasang orangtua yang bersama dengan Xinran dalam satu perjalanan kereta api (hal. 81-95). Sang ayah terlihat memeluk anak perempuannya yang berumur 18 bulan dengan penuh kasih sayang. Anak kecil bermata bulat yang lucu. Kereta berhenti di stasiun Xi’an. Sang ayah turun membawa anaknya. Tak lama kemudian kereta kembali bergerak. Xinran melihat sang ayah hanya sendiri tanpa ditemani si anak. Kemana si anak, tanya Xinran. Jawaban sang ayah mengagetkan lebih dari suara seribu guruh. Si anak ditinggalkan di stasiun Xi’an!
Kenapa? Kenapa tega berbuat seperti itu? Xinran bertanya seperti kesetanan. Dan sang ayah hanya menjawab dingin: “Karena Kebijakan Satu Anak.”
Ada hati yang remuk. Ada naluri keibuan yang tercabik. Lantas, apakah praktik kejam itu berhenti? Tidak juga. Laporan majalah The Economist  tahun lalu mengungkap sebanyak 100 juta bayi perempuan telah dibunuh bukan hanya di China, bahkan di lima benua di seluruh dunia atas berbagai alasan. Itu angka di tahun 1990 menurut ekonom peraih Hadiah Nobel Amartya Sen. Kini, diperkirakan angka itu telah berlipat ganda.
Mengapa pembunuhan bayi perempuan terus terjadi? Mengapa ayah dan ibu sanggup mengubur naluri paling indah sebagai manusia, naluri cinta orangtua terhadap anaknya? Jawabannya tertulis di kalimat yang saya kutip dari buku Xinran di awal artikel ini. Manusia sanggup menukar dirinya menjadi makhluk bukan manusia atas nama tradisi dan kebijakan politik pemerintah.."

Kutipan diatas adalah sepenggal kisah lama yang tidak akan terlupakan sampai kapanpun.
artikel diatas, meununjukan bahwa praktik gendercide dan secara tidak langsung mengarah pada terjadinya tindakan genocide. Dan hal ini bukan lagi menjadi suatu "hal" yang "sulit" untuk dilakukan.dengan berselubung sebagai sebuah kebijakan pemerintah, pemusnahan nyawa manusia (bahkan yang baru saja lahir) seperti tidak bernilai. Rasio yang muncul antara 120 dan 160 laki-laki untuk setiap 100 perempuan, yang akan meninggalkan jutaan laki-laki China tanpa pasangan, seperti yang dilaporkan dalam erabaru.net, hal tersebut telah mengakibatkan meningkatnya perdagangan seks di China, dan tingkat bunuh diri perempuan di China yang melampaui laki-laki, yang berarti bahwa 500 perempuan bunuh diri setiap hari sebagian tanggapan terhadap kebijakan 'satu-anak'. mungkin disini yang mnjadi korban adalah wanita, namun hal ini mencoba menjelaskan bahwa mungkin, dalam konteks dan ranah yang memang berbeda, setiap pria atau wanita,terkadanag memiliki resiko yang sama dalam menjadi korban gendercide.hanya saja, dalam artikel gendercide tersebut porsi pria lah yang lebih di soroti.bagaimana seorang pria yang tewas dalam pertempuran, atau menjadi korban kekerasan dan tindakan Sexual Abuse kaum pria lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar