Pakar Internasional Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana, mengatakan bahwa denda diyat bukanlah kewajiban pemerintah. Jika memang pemerintah memberikan bantuan kepada keluarga tki yang tengah terjerat kasus pembunuhan, dan diharuskan membayar denda diyat untuk menghindarkannya dari hukuman mati, itu adalah bentuk sumbangan dana. Bukan bentuk kewajiban yang seharusnya dilakukan negara.
Ada tiga alasan yang dikemukakan oleh beliau:
Pertama,
Diyat merupakan kewajiban dari tersangka pembunuhan kepada korbannya, yang tentu saja harus ditanggung oleh tersangka atau keluarganya.
Kedua,
Jika kewajiban membayar diyat "dilimpahkan" kepada pemerintah, dikhawatirkan akan terjadi peningkatan besaran jumlah diyat pada masa di depan oleh keluarga korban.
Ketiga,
Tidak akan adil bagi masyarakat Indonesia jika pemerintah harus menggunakan uang negara untuk membayar diyat.
Diyat merupakan kewajiban dari tersangka pembunuhan kepada korbannya, yang tentu saja harus ditanggung oleh tersangka atau keluarganya.
Kedua,
Jika kewajiban membayar diyat "dilimpahkan" kepada pemerintah, dikhawatirkan akan terjadi peningkatan besaran jumlah diyat pada masa di depan oleh keluarga korban.
Ketiga,
Tidak akan adil bagi masyarakat Indonesia jika pemerintah harus menggunakan uang negara untuk membayar diyat.
Dalam hal ini, mari kita ambil contoh dari dua kasus pembunuhan majikan yang dilakukan oleh tenaga kerja asal Indonesia, Darsem (2009) dan Satinah (2014).
Darsem, adalah contoh TKI yang berhasil "diselamatkan" oleh "negara" dari hukuman mati yang menjeratnya beberapa tahun silam dengan pembayaran diyat. Diyat Darsem mencapai 4,72 Miliar pada saat itu.
Darsem melakukan pembunuhan terhadap teman majikannya yang berusaha memperkosanya.
Penggalangan dana untuk Darsem juga dilakukan oleh banyak dermawan, ditambah dengan bantuan dari pemerintah. Baik secara materi dan negosiasi. Hasilnya, Darsem dibebaskan dan memiliki uang diyat yang berlebih. Seperti yang ditayangkan oleh beberapa media massa baik cetak maupun elektronik, Darsem menggunakan sisa dari uang diyat tersebut untuk membangun rumah dan membeli perhiasan untuk investasinya. Kini, Darsem sudah dapat menjalani hidupnya seperti biasa.
Darsem melakukan pembunuhan terhadap teman majikannya yang berusaha memperkosanya.
Penggalangan dana untuk Darsem juga dilakukan oleh banyak dermawan, ditambah dengan bantuan dari pemerintah. Baik secara materi dan negosiasi. Hasilnya, Darsem dibebaskan dan memiliki uang diyat yang berlebih. Seperti yang ditayangkan oleh beberapa media massa baik cetak maupun elektronik, Darsem menggunakan sisa dari uang diyat tersebut untuk membangun rumah dan membeli perhiasan untuk investasinya. Kini, Darsem sudah dapat menjalani hidupnya seperti biasa.
Satinah, memiliki cerita yang berbeda. Ia dituduh membunuh majikannya karena sering menerima kekerasan dari almarhumah. Satinah yang sempat melarikan diri pun akhirnya menyerahkan diri ke kepolisian Arab Saudi. Ia kemudian dijerat dengan pasal pembunuhan dengan hukuman mati. Hingga saat tulisan ini diturunkan, pemerintah masih terus berusaha melakukan negosiasi dengan pemerintah Arab Saudi dan keluarga korban.
Uang diyat yang diminta untuk menebus satinah berjumlah 25 Miliar, dan kini uang diyat tersebut telah diserahkan kepada yang berhak. Satinah kini masih harus terus menjalani proses untuk dapat benar-benar bebas dan kembali ke Tanah Air. Uang diyat tersebut akhirnya dapat terkumpul dari penggalangan dana yang dimotori oleh Melanie Subono, masyarakat Indonesia, dan APBN Negara (RI). Meskipun menjelang hari - H jumlahnya sempat belum tergenapi.
Uang diyat yang diminta untuk menebus satinah berjumlah 25 Miliar, dan kini uang diyat tersebut telah diserahkan kepada yang berhak. Satinah kini masih harus terus menjalani proses untuk dapat benar-benar bebas dan kembali ke Tanah Air. Uang diyat tersebut akhirnya dapat terkumpul dari penggalangan dana yang dimotori oleh Melanie Subono, masyarakat Indonesia, dan APBN Negara (RI). Meskipun menjelang hari - H jumlahnya sempat belum tergenapi.
Jika melihat dari kedua kasus ini, besaran uang diyat yang diminta oleh pihak keluarga semakin besar. Apakah ini dikarenakan tidak ada batasan nominal jumlah uang diyat? Adakah aturan hukum di Pemerintah Arab Saudi yang mengatur jumlah diyat dengan semestinya? jika tidak, lalu apa hal ini dapat mengindikasikan bahwa jumlah diyat yang harus dibayarkan bisa mengarah pada pemerasan secara terang?
Mungkin beberapa pertanyaan tersebut menjadi dasar mengapa Prof. Hikmahanto Juwana merasa keberatan jika uang diyat harus dibayarkan oleh pemerintah. Jika memang benar, maka tiga alasan yang disebutkan oleh beliau sangat masuk akal menurut saya. Pertama, jumlah TKI yang terancam hukuman mati tidak sedikit jumlahnya. Jika semuanya "diharuskan" membayar uang diyat demi mendapat kebebasan, maka tidak terbayangkan berapa besar uang anggaran pemerintah (APBN) yang harus dikeluarkan. Terakhir, hal -hal semacam ini dapat dicegah jika pemerintah memiliki kontrol yang baik terhadap penanganan TKI yang akan dipekerjakan nantinya. Kontrol yang baik ini lebih kepada pengawasan ketat di lapangan atas maraknya praktik calo TKI ilegal, karena tidak akan mungkin pemerintah memilah mana TKI yang patut di "selamatkan" dari hukuman mati. Ilegal atau resmikah ia saat diberangkatkan.
Hendaknya, masyarakat Indonesia yang bermaksud untuk memilih menjadi TKI sebagai pekerjaan mereka untuk lebih berhati-hati dan waspada. Berhati-hati dalam memilih agen yang akan memberangkatkan mereka. Waspada terhadap penipuan yang seringkali terjadi. Pahami setiap arahan yang diberikan dan pelajari dengan seksama, dengan segala ribu kemungkinan.
Jangan terlena dahulu akan jumlah penghasilan yang akan didapatkan nantinya, karena mungkin saja, ada harga yang akan dibayar mahal sebagai maharnya.