Selasa, 15 April 2014

Bhineka, Globalisasi, dan Manusia

Meskipun banyak yang mengatakan saat ini dunia sudah tak berbatas, entah akibat globalisasi atau memang manusia sudah menyadari kesendiriannya. Mungkin juga manusia masa kini sudah lebih berani untuk mengetahui hal-hal lain yang sebenarnya mereka takutkan dahulu.
Tapi apakah itu hanya sebuah kesimpulan acak yang dikeluarkan oleh beberapa orang yang kemudian diamini oleh lainnya? Sebenarnya dunia ini masih luas, bahkan terlalu luas jika hanya untuk sekedar diselami dengan makna dan kesimpulan globalisasi.
Tidak terjangkau mata, tidak pula dengan hati.
Setujukah jika hal itu adalah pribadi manusia itu sendiri?
Manusia itu misteri terbesar kedua setelah masa depan. Manusia itu sendiri tidak terkena dampak globalisasi, dalam arti yang tidak sesungguhnya.

Manusia itu lebih luas, lebih multitafsir, lebih sulit, lebih ambigu.
Ada yang mengatakan bahwa manusia pada dasarnya akan bertindak atas kepentingan pribadinya. Entah pribadi yang mengatasnamakan negara, kelompok atau perorangan. Tapi kadang manusia juga bertindak atas nurani yang sulit dijangkau dengan akal sehat.
Paham-paham selanjutnya, yang lebih maju, mulai banyak menyuarakan suara-suara hati tersebut meskipun kepentingan akan selalu diutamakan, hanya saja kepentingan itu lebih bersifat untuk pribadi lain, mungkin.

Jadi, apakah globalisasi masih tidak cukup untuk "mendamaikan" keragaman kepentingan tersebut?
Apakah globalisasi ini justru membantu menambah warna keragaman lain yang suatu saat nanti semakin sulit disatukan?
Apakah tujuan "menyatukan dunia" itu hanya untuk memperjelas perbedaan diantara kita?
Lalu bagaimana menyikapinya?

Ketika kita dihadapkan pada suatu hal yang baru dan berbeda, reaksi awal manusia adalah mencoba menganalisa.
Apa, siapa, kenapa, bagaimana, dimana, kapan, dan banyak pertanyaan lain yang akan muncul. Kita hanya perlu memandangnya dari sudut positif.
Bagaimana menyatukan perbedaan yang kian hari semakin terasa dan nyata disekeliling kita, tentu saja dengan menerimanya. Menerima dengan segala kebaikan dan keburukan yang pasti ada satu paket dalam setiap "kemasan", bahkan dalam kemasan paling sempurna di dunia.
Dengan menerima, kita akan belajar bagaimana rasanya menjadi di pihak yang berbeda. Minoritas, atau mayoritas.
Perbedaan tidak akan pernah bisa disatukan,
Perbedaan itu untuk dihargai, dimengerti.
Dengan begitu keanekaragaman yang sesungguhnya akan terwujud.
Tidak akan bisa jika kita selalu membanggakan diri kita yang berbeda dengan lainnya. Lebih tinggi, lebih pintar, lebih maju, lebih canggih, lebih aman. Pekerjaan membandingkan tidak akan pernah berkesudahan. Perbedaan diperlukan untuk bisa melengkapi.

Negara kaya seharusnya bisa membantu yang kekurangan, tapi yang terjadi justru menghasilkan kesenjangan. Semakin membantu, namun yang terlihat justru semakin menunjukan kemakmurannya.
Sepertinya semua kembali pada sifat manusia tadi. memang benar berarti bahwa dalamnya hati manusia tidak ada yang tahu, selain yang Menciptakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar