Selasa, 15 April 2014

Diyat Bukan Tanggungjawab Pemerintah?


Pakar Internasional Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana, mengatakan bahwa denda diyat bukanlah kewajiban pemerintah. Jika memang pemerintah memberikan bantuan kepada keluarga tki yang tengah terjerat kasus pembunuhan, dan diharuskan membayar denda diyat untuk menghindarkannya dari hukuman mati, itu adalah bentuk sumbangan dana. Bukan bentuk kewajiban yang seharusnya dilakukan negara.
Ada tiga alasan yang dikemukakan oleh beliau:
Pertama,
Diyat merupakan kewajiban dari tersangka pembunuhan kepada korbannya, yang tentu saja harus ditanggung oleh tersangka atau keluarganya.
Kedua,
Jika kewajiban membayar diyat "dilimpahkan" kepada pemerintah, dikhawatirkan akan terjadi peningkatan besaran jumlah diyat pada masa di depan oleh keluarga korban.
Ketiga,
Tidak akan adil bagi masyarakat Indonesia jika pemerintah harus menggunakan uang negara untuk membayar diyat.

Dalam hal ini, mari kita ambil contoh dari dua kasus pembunuhan majikan yang dilakukan oleh tenaga kerja asal Indonesia, Darsem (2009) dan Satinah (2014). 

Darsem, adalah contoh TKI yang berhasil "diselamatkan" oleh "negara" dari hukuman mati yang menjeratnya beberapa tahun silam dengan pembayaran diyat. Diyat Darsem mencapai 4,72 Miliar pada saat itu.
Darsem melakukan pembunuhan terhadap teman majikannya yang berusaha memperkosanya.
Penggalangan dana untuk Darsem juga dilakukan oleh banyak dermawan, ditambah dengan bantuan dari pemerintah. Baik secara materi dan negosiasi. Hasilnya, Darsem dibebaskan dan memiliki uang diyat yang berlebih. Seperti yang ditayangkan oleh beberapa media massa baik cetak maupun elektronik, Darsem menggunakan sisa dari uang diyat tersebut untuk membangun rumah dan membeli perhiasan untuk investasinya. Kini, Darsem sudah dapat menjalani hidupnya seperti biasa. 

Satinah, memiliki cerita yang berbeda. Ia dituduh membunuh majikannya karena sering menerima kekerasan dari almarhumah. Satinah yang sempat melarikan diri pun akhirnya menyerahkan diri ke kepolisian Arab Saudi. Ia kemudian dijerat dengan pasal pembunuhan dengan hukuman mati. Hingga saat tulisan ini diturunkan, pemerintah masih terus berusaha melakukan negosiasi dengan pemerintah Arab Saudi dan keluarga korban.
Uang diyat yang diminta untuk menebus satinah berjumlah 25 Miliar, dan kini uang diyat tersebut telah diserahkan kepada yang berhak. Satinah kini masih harus terus menjalani proses untuk dapat benar-benar bebas dan kembali ke Tanah Air. Uang diyat tersebut akhirnya dapat terkumpul dari penggalangan dana yang dimotori oleh Melanie Subono, masyarakat Indonesia, dan APBN Negara (RI). Meskipun menjelang hari - H jumlahnya sempat belum tergenapi.

Jika melihat dari kedua kasus ini, besaran uang diyat yang diminta oleh pihak keluarga semakin besar. Apakah ini dikarenakan tidak ada batasan nominal jumlah uang diyat? Adakah aturan hukum di Pemerintah Arab Saudi yang mengatur jumlah diyat dengan semestinya? jika tidak, lalu apa hal ini dapat mengindikasikan bahwa jumlah diyat yang harus dibayarkan bisa mengarah pada pemerasan secara terang?

Mungkin beberapa pertanyaan tersebut menjadi dasar mengapa Prof. Hikmahanto Juwana merasa keberatan jika uang diyat harus dibayarkan oleh pemerintah. Jika memang benar, maka tiga alasan yang disebutkan oleh beliau sangat masuk akal menurut saya. Pertama, jumlah TKI yang terancam hukuman mati tidak sedikit jumlahnya. Jika semuanya "diharuskan" membayar uang diyat demi mendapat kebebasan, maka tidak terbayangkan berapa besar uang anggaran pemerintah (APBN) yang harus dikeluarkan. Terakhir, hal -hal semacam ini dapat dicegah jika pemerintah memiliki kontrol yang baik terhadap penanganan TKI yang akan dipekerjakan nantinya. Kontrol yang baik ini lebih kepada pengawasan ketat di lapangan atas maraknya praktik calo TKI ilegal, karena tidak akan mungkin pemerintah memilah mana TKI yang patut di "selamatkan" dari hukuman mati. Ilegal atau resmikah ia saat diberangkatkan.

Hendaknya, masyarakat Indonesia yang bermaksud untuk memilih menjadi TKI sebagai pekerjaan mereka  untuk lebih berhati-hati dan waspada. Berhati-hati dalam memilih agen yang akan memberangkatkan mereka. Waspada terhadap penipuan yang seringkali terjadi. Pahami setiap arahan yang diberikan dan pelajari dengan seksama, dengan segala ribu kemungkinan. 
Jangan terlena dahulu akan jumlah penghasilan yang akan didapatkan nantinya, karena mungkin saja, ada harga yang akan dibayar mahal sebagai maharnya.

Menolong atau Membatasi Yang Terbatas?

"   Pasal 31
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. ****) 

(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. ****) 

(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undangundang. ****) 

(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurangkurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. ****) 

(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilainilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. ****)  "


http://news.detik.com


Dia sudah memilihkan jalan terbaik untukku
maka inilah adanya aku
Aku memang tak mendengar suaramu, tapi aku bisa membaca laku dan mau mu
Aku mungkin tak melihat ekspresi wajahmu, tapi aku selalu bisa merasakan haru tawa mu
Kawan..
Tahukah kalian ketika aku meraba kehidupan dengan tangan ku, aku ingin menyusuri setiap jengkalnya dengan tekad?
Mengertikah kalian ketika aku belajar memahami isyarat, aku ingin melakukan setiap geraknya dengan hati dan pancaran mataku?
Aku hanya ingin bisa menunjukan, padamu.
Meskipun dalam keterbatasanku.
Aku sama denganmu, manusia sepertimu
Hanya lebih hening suaraku,
Hanya lebih lama terpejam mataku.
Aku tak menyesali yang diberikanNya padaku
Tuhan memilihkan jalanNya untukku
Maka biarkanlah aku berusaha yang sama denganmu.
Jangan jauhkan apa yang masih menjadi hak ku
Jangan hilangkan apa yang harus menjadi kewajibanku
Biarkan aku berusaha yang sama sepertimu, dengan caraku.
Tiada akan beda yang terlihat, jika kau mau mengakuiku.
Jakarta, KM 0 (2014)


Teman,
Puisi diatas semoga bisa menjadi jembatan yang layak untuk kita mencoba memahami mereka.
Tidak ada satupun manusia yang ingin dipandang berbeda, dalam hal ini memandang mereka lebih rendah. Entah derajat, martabat dan kemampuannya.
Semua memiliki kelebihan yang tidak akan pernah kita sadari sebelumnya, tanpa kita perhitungkan .
Pada bulan Maret lalu, kita sempat disuguhkan beberapa pemberitaan mengenai beberapa universitas yangtidak membolehkan kaum disabilitas untuk mengikuti saringan ujian masuk ke Universitas yang bersangkutan. Bukankah setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan?

keterbatasan mereka sebagai kaum difabel tidak dapat menjadi sebuah pertimbangan bahwa mereka tidak mampu melakukan oleh orang lain. Seringkali keterbatasan yang mereka miliki justru membuat kita berdecak kagum ketika mereka berhasil mendapatkan yang sifatnya hampir mustahil bagi mereka. Banyak prestasi yang masih bisa mereka berikan pada negara, bukan hanya sekelumat.
Contohnya ketika diadakan Asean Para Games di bulan Oktober 2013 lalu, atlet-atlet Indonesia berhasil membawa pulang 8 emas, dengan rincian 3 di cabang atletik, renang 1 emas, bulutangkis 1 emas, catur 2 emas, dan tenis meja 1 emas.

Namun, disisi lain. Perguruan tinggi yang sempat memberikan persyaratan yang dinilai diskriminatif itu sendiri memiliki alasan. Alasan yang juga masuk pada akal sehat. Persyaratan tersebut mereka buat tidak pernah bertujuan untuk membedakan para calon mahasiswa mereka. Mereka melakukan itu demi kebaikan para calon peserta didik mereka. Seperti yang dikutip dalam Republika Online edisi 15 maret 2014, berikut:

"Misalnya jurusan Teknik Elektro mahasiswanya tidak boleh buta warna, itu bukan diskriminasi. Dia mencontohkan jika mahasiswa itu buta warna, dia tidak bisa membedakan warna yang satu dengan lainnya. Padahal saat belajar ada kode-kode warna yang menggunakan warna. Jika dia tak bisa membedakan  warna, jutsru akan mencelakakannya.

Contoh lain, kata dia, untuk Fakultas Kedokteran juga tidak membolehkan buta warna. Nuh mengatakan, jika ada dokter yang buta warna malah akan membahayakan pasiennya. Karena itu, sejumlah persyaratan dalam SNMPTN bukan dimaksudkan untuk melakukan diskriminasi. ‘’Namun ada memang jurusan tertentu yang membutuhkan kelengkapan itu,’’ terang Nuh."
*M. Nuh/ Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI
Terlepas dari ada atau tidaknya agenda lain dalam persyaratan yang pernah dikeluarkan tersebut (kini sudah dihapuskan di beberapa PTN & PTS), kita tetap harus menghargai setiap kebijakan-kebijakan yang telah dibuat. Selama kita masih bisa mengawasinya sebagai warga negara yang baik, tidak ada salahnya untuk menerapakan prinsip cover both side dalam menyikapi suatu pemberitaan. Mari berharap setiap kebijakan yang mereka buat akan menjadi manfaat bagi bersama, bukan demi kepentingan kelompok atau perorangan tertentu. Apapun bidangnya, pendidikan, kesehatan, atau sosial.

Bhineka, Globalisasi, dan Manusia

Meskipun banyak yang mengatakan saat ini dunia sudah tak berbatas, entah akibat globalisasi atau memang manusia sudah menyadari kesendiriannya. Mungkin juga manusia masa kini sudah lebih berani untuk mengetahui hal-hal lain yang sebenarnya mereka takutkan dahulu.
Tapi apakah itu hanya sebuah kesimpulan acak yang dikeluarkan oleh beberapa orang yang kemudian diamini oleh lainnya? Sebenarnya dunia ini masih luas, bahkan terlalu luas jika hanya untuk sekedar diselami dengan makna dan kesimpulan globalisasi.
Tidak terjangkau mata, tidak pula dengan hati.
Setujukah jika hal itu adalah pribadi manusia itu sendiri?
Manusia itu misteri terbesar kedua setelah masa depan. Manusia itu sendiri tidak terkena dampak globalisasi, dalam arti yang tidak sesungguhnya.

Manusia itu lebih luas, lebih multitafsir, lebih sulit, lebih ambigu.
Ada yang mengatakan bahwa manusia pada dasarnya akan bertindak atas kepentingan pribadinya. Entah pribadi yang mengatasnamakan negara, kelompok atau perorangan. Tapi kadang manusia juga bertindak atas nurani yang sulit dijangkau dengan akal sehat.
Paham-paham selanjutnya, yang lebih maju, mulai banyak menyuarakan suara-suara hati tersebut meskipun kepentingan akan selalu diutamakan, hanya saja kepentingan itu lebih bersifat untuk pribadi lain, mungkin.

Jadi, apakah globalisasi masih tidak cukup untuk "mendamaikan" keragaman kepentingan tersebut?
Apakah globalisasi ini justru membantu menambah warna keragaman lain yang suatu saat nanti semakin sulit disatukan?
Apakah tujuan "menyatukan dunia" itu hanya untuk memperjelas perbedaan diantara kita?
Lalu bagaimana menyikapinya?

Ketika kita dihadapkan pada suatu hal yang baru dan berbeda, reaksi awal manusia adalah mencoba menganalisa.
Apa, siapa, kenapa, bagaimana, dimana, kapan, dan banyak pertanyaan lain yang akan muncul. Kita hanya perlu memandangnya dari sudut positif.
Bagaimana menyatukan perbedaan yang kian hari semakin terasa dan nyata disekeliling kita, tentu saja dengan menerimanya. Menerima dengan segala kebaikan dan keburukan yang pasti ada satu paket dalam setiap "kemasan", bahkan dalam kemasan paling sempurna di dunia.
Dengan menerima, kita akan belajar bagaimana rasanya menjadi di pihak yang berbeda. Minoritas, atau mayoritas.
Perbedaan tidak akan pernah bisa disatukan,
Perbedaan itu untuk dihargai, dimengerti.
Dengan begitu keanekaragaman yang sesungguhnya akan terwujud.
Tidak akan bisa jika kita selalu membanggakan diri kita yang berbeda dengan lainnya. Lebih tinggi, lebih pintar, lebih maju, lebih canggih, lebih aman. Pekerjaan membandingkan tidak akan pernah berkesudahan. Perbedaan diperlukan untuk bisa melengkapi.

Negara kaya seharusnya bisa membantu yang kekurangan, tapi yang terjadi justru menghasilkan kesenjangan. Semakin membantu, namun yang terlihat justru semakin menunjukan kemakmurannya.
Sepertinya semua kembali pada sifat manusia tadi. memang benar berarti bahwa dalamnya hati manusia tidak ada yang tahu, selain yang Menciptakannya.

Senin, 14 April 2014

Titip Rindu

Rintikan hujan menemani senja yang akan menjelang malamnya.
Aku berjalan seperti biasa, ditempat biasa, dengan gaya yang sama.
Edaran pandangku masih melihat apa yang dulu kurasakan, bukan yang dulu kulihat.
Mengapa aku harus melihat dengan merasa?
Aku terlalu menyerah dengan iba.
Memilih percaya memori dibanding mata ku sendiri.
Aku terjebak disini, bukan raga tapi waktu.
Langkahku tetap berderap, tapi kenanganku membuat senja itu lebih sedih terlihat.
Aku rindu disini. Temani kalian melengkapi waktu, genapi hari dengan candaan: teman.
Baiklah,
Cukuplah nostalgia hari ini.

Titip rinduku, jatinangor.
Kali lainnya, aku akan kembali.
Meski sekedar melepas kembali rindu yang ku pupuk tanpa disadari.

Minggu, 23 Februari 2014

Terserpih

Menangisi apa yang tak ku ketahui.
Seduku untuk apa, ibaku pada siapa.
Hanya rasa diri yang meraba-raba
Kelu saat coba mengingat kembali, haru saat tiada yang dapat kutemui

Ada apa disini, rasaku pedih
Tersesak untuk napas penat
Siapa dan apa, masih alpa dalam kepala

Ada yang tertinggal ujar batinku
Sesuatu yang berarti di masa lalu
Tertinggal, apakah mati?
Waktu tak ingin lelah untuk kembali, hanya tak ingin ucapnya

Ada apa disini, tanganku bertumpu dada yang peluh, dan rusuh
Kembali mencari yang terserpih

Selasa, 18 Februari 2014

Saat Imaji Berusaha Nyata

Satu ketika, kusadari aku ingin menulis sesuatu. Hal yang mungkin menjadi teman imajinasiku. Menuliskan setiap kata yang ada di pikiranku, bermain dengan penggalan kalimat yang selalu berebut untuk ditulis.
Sejenak aku tertunduk. Sudah sampai dimana aku?
Aku selalu berhenti sebelum mulai aku menulis.
Terlalu banyak kata ternyata, seperti biasa. Terlalu banyak cerita yg berjejalan. Berdesakan.
Masuk tanpa membiarkan dirinya kupilah. Kusunting. Kurapikan.
Ah, terkadang itu membuatku lelah. Lelah sebelum kuselesaikan satupun kalimat pembuka.
Sesaat setelahnya, aku menyelesaikannya.
Ya, kembali selesai dalam kepalaku. Dalam imaji luar biasaku.
Sekali lagi, tanpa perlu kuberitahu.
Sejuta kali, tanpa perlu kusadari.

Senin, 17 Februari 2014

Apa sebutan untukmu?

"ketika sebuah rasa cinta tanah air di uji. apakah setiap individu mampu lolos dengan sebuah nilai yang baik?
ketika seseorang memilih untuk menjadi lebih baik, akankah ia mampu tetap berada di jalan yang ia tuju sebagai sebuah pencapaiannya? karena terkadang, yang lebih baik adalah sebuah ambiguitas."

Aku tidak menyadari bagaimana sebuah topeng kehidupan mampu bertahan dalam waktu.
Ia palsu, bukan?
Tapi ia membantumu?
Lalu, Haruskah aku tetap menyalahkan itu. Menyalahkan keberadaannya yang memang diinginkan.
Lalu, bagaimana harus kusebut itu?

Aku malu ketika harus kusuarakan kemerdekaan, namun kaki ku berpijak pada negeri asing.
Aku sadar dan tertampar ketika harus kuperjuangkan bangsaku, namun ia tak pernah merasa terjajah.
Aku marah ketika tahu bumi yang kupijak sudah mendua. Aku bertengkar dengan ego.

Ingat, kau sendiri yang menduakannya. Kau pula yang menyalahkannya sekarang?
Ingatlah hari ini,
Dimana kau menyadari kau ada dalam etika baru. Etika yang lebih banyak basa basi ketika kau anggap jaman sudah lebih sederhana.

Jangan kau jumawa, kawan.
Jangan kau bangga karena sudah memilih diam dahulu.
Jangan letakkan tanganmu di dada saat semua sudah kembali dalam fitrahnya.
Seakan kau yang memperbaikinya, terlibat menatanya.
Sedangkan dahulu kau ikut membantu, untuk merusaknya.
Lalu, apa sebutan untukmu, kawan?